Teruntuk untuk mu yang
hingga kini ada dalam pikiran dan mungkin juga hatiku.
Apa kabarmu? Aku harap
baik-baik saja dan masih bersama suara khas milik mu, lalu gelak tawa mu yang
keras, yang dulu pernah aku benci tapi sekarang aku rindukan. Aku ingin
menyapamu untuk sekedar mengobrol singkat, tapi aku ragu apakah kau inginkan
itu juga. Rasanya aku dan kau berada di dua tempat yang sangat jauh, mungkin
aku di Bumi dan kau di Pluto, sehingga aku tak bisa tau tentangmu, bahkan
sekedar mendeteksi radar Pluto pun aku tak mampu.
Jika alismu bertautan
ketika membaca tulisan ini, aku tidak bermaksud mendramatisir agar kau iba atas
aku, atau kau pikir aku mencari-cari perhatianmu, tentu tidak. Aku hanya…,
terkadang ada rasa rindu yang terbesit dalam hatiku. Rasanya benar-benar ingin
menyapamu tapi aku ragu, karena sekarang aku dan kau seolah tak pernah bertemu.
Tiap aku merindukanmu,
otakku menayangkan kembali semua kejadian tentang kita. Masih terekam jelas
semua kejadian itu. Kala kau datang bagaikan angin, tak terlihat asalnya dari
mana namun mampu aku rasakan. Kau menarikku mendekatimu, kau tanya padaku
apakah aku mengenalmu, tentu saat itu garis wajahku menunjukkan kebingungan dan
takut melingkupi rasaku.
Aku masih ingat pertama
kali menangis di hadapan mu. Jika mengingat masa itu aku merasa sangat bodoh,
sepertinya aku mengukir kesan pertama yang buruk saat bertemu denganmu. Aku
menangis tak henti-hentinya dan kau menatapku seolah bingung. Ahh… andai kau
tahu aku merasa malu tiap mengingat kejadian itu. Ingatkah kau caramu meredakan
tangisku? Mungkin kau lupa itu, tapi tak apa. Mataku menangkap seulas wajah
heran dan senyum di sana, ada pada wajahmu. Aku, aku merasa bodoh sekali saat
itu. Rasanya aku seperti anak kucing yang malang, yang ketakutan dengan manusia
seperti mu. Aku masih ingat caraku menghindar dari mu karena takut, dan aku
masih ingat caramu untuk mendekatiku agar aku tak takut.
Lalu untuk cokelat yang kau beri saat itu,
rasanya, rasanya aku ragu untuk memakan itu dari pelukan tanganmu, namun aku
lakukan juga. Jika kau tanya rasanya saat itu tentu bagiku sama seperti cokelat
biasa, namun sekarang rasa manis itu datang entah dari mana. Menurutmu apakah rasa
itu terlambat? Mungkin iya.
Semua terputar kembali dalam ingatanku, saat
pertama kali aku mengatakan bahwa aku sayang padamu, dulu perkataan itu tentu
tidak dari dalam hatiku melainkan paksaan dari mu, namun sekarang itu tulus
benar-benar dari dalam hatiku. Aku benar-benar menyayangi mu sekarang. Tapi
mungkin kau tidak begitu.
Dan ketika kau paksa
aku menuliskan contact-ku di ponselmu,
aku ragu dan takut namun ku lakukan juga. Sejujurnya aku tak pernah menyesal
telah melakukan itu, karena sebab hal itu setidaknya kita pernah dekat walau
sekarang rasanya tidak lagi. Kemudian senja menjadi saksi di mana kau tanya
apakah dirimu tampan bagiku, namun aku menjawab tidak tahu, itu karena ragu,
karena malu dan karena saat itu aku memang tidak tertarik pada mu, namun
sekarang aku ingin katakan bahwa bagiku kau lah satu-satunya pria yang paling
tampan di hatiku.
Kemudian magrib mengingatkan
ku tentang bagaimana caramu mengulur waktu magribku agar kau bisa lama-lama
mengobrol denganku, saat itu aku ingin mengobrol banyak denganmu tapi aku ragu,
terlebih mengingat kala itu adzan magrib berkumandang. Maaf karena aku pergi
meninggalkanmu, tapi sekarang rasanya aku ingin mengajakmu magrib bersama,
kalau diperbolehkan akan ku jadikan kau imam dalam sholatku.
Dulu, dulu sekali,
obrolan kita terasa menyenangkan, walau tak banyak yang mampu kita bahas
bersama, namun kau selalu mencari-cari obrolan yang menuai tawa di antara kita.
Aku benar-benar ingat segala obrolan itu, dan segala tawa mu yang bergema di
dalam rongga dadaku. Aku masih bisa rasakan duduk di belakangmu, melihat
pundakmu, menatap lehermu, merasakan angin yang bergesakan dengan kulit kita.
Jantungku memompa darah begitu cepat kala itu. Aku merasa kikuk jika di
dekatmu. Setiap ucapmu ku jawab dengan polosnya hingga lagi dan lagi gelak
tawamu menggema di seantero rongga dadaku.
Aku rindu, rindu akan
menatap mata mu malu-malu. Entah kau tahu atau tidak bahwa aku sering melempar
pandanganku jauh dari mu ketika kau mulai menatap ke arahku. Maaf jika saat
bersamamu aku sering menatap layar ponselku, sebenarnya itu karena aku malu,
aku bingung harus berbuat apa, aku takut tampak aneh di hadapanmu, aku tak tahu
ingin mengobrol tentang apa. Aku hanya berusaha terlihat senormal mungkin.
Malam itu membawa kita
dalam tawa, tak pernah ada sedih kala aku bersamamu, walau mendung mewarnai
malam kita. Bagiku tak masalah kalau pun saat itu hujan, aku tetap akan merasa
senang jika itu bersamamu. Bagiku tak masalah walau dingin, aku tetap akan
merasa hangat jika itu bersamamu. Bagiku tak masalah walau gelap malam, tapi
itu bukan karena bersamamu, melainkan ada lampu-lampu jalan yang menemani kita.
Tingkahmu tak pernah terbayang olehku, kau gila, tapi aku cinta! Kau sapa tiap
orang di pinggiran jalan walau ku tahu kau tak mungkin mengenal mereka satu
persatu.
Sekarang aku ingat
wajahmu kala meniru wajah lelahku, wajah ngantukku, ahh kau lucu! Dan aku suka
itu! Kau memang jarang memperhatikanku tapi kau selalu mengawasiku, kau larang
ini, kau larang itu, dan aku percaya kau katakan sebab kau tak ingin terjadi
sesuatu yang buruk padaku. Rasanya, ahh aku tersenyum kala memutar kembali
kisah itu di kepalaku.
Aku masih mampu
merasakan suaramu di telepon, memang tak merdu, apalagi ketika kau menyanyi
untukku, suaramu tak merdu tapi aku suka itu. Aku selalu suka, walau kau buat
aku menunggu, aku pun tetap masih suka. Ingkatkah kau kala aku mengajakmu untuk
datang dalam acara penggalangan dana bakti sosial? Malam sebelum hari itu aku
sulit pejamkan mataku, teringat akanmu, berangan apa yang akan terjadi esok
pada kita berdua, namun kenyataan pahit harus ku telan sendiri. Aku menunggumu sedari
munculnya sang mentari hingga berganti dengan bulan, kau tak kunjung datang
bahkan hingga acara selesai. Hingga aku pulang. Hingga aku sadar bahwa anganku semu.
Hingga aku lelah melihat layar ponselku untuk menunggu jawabanmu. Hingga aku,
aku tak bisa berkata apapun lagi.
Entah, entah apa isi
pikiranku. Rasanya tak mampu gunakan logika jika padamu. Apapun itu, anganku
terlalu tinggi terhadapmu. Namun semua hanya angan semu, bahkan untuk pertemuan
terakhir kau dan aku. Hujan menjadi akhir pertemuan kita. Hingga sekarang, kala
hujan jatuh membasahi bumi, rasanya kenangan tentangmu kembali membasahi
hatiku.
Ku habiskan segala
waktu sembari mengenangmu, tertawa atau menangis rasanya aku selalu
memikirkanmu, kau selalu bersemayam dalam hatiku, sehingga kapan pun itu aku
akan terus berbicara dengan hatiku karena yang ku tahu di sana ada kau. Menatap
malam, merasakan rintik hujan, tertawa, menangis, apapun itu aku tak mampu
melupakanmu.
Aku tulis semua ini,
semua yang berasal dari sudut pikiranku. Ku tulis agar tak lagi hidup dalam
pikiranku. Biarlah semua terangkai dalam kata-kata yang ku jadikan tulisan
untuk rasa di penghujung Desember. Aku tahu waktu tak akan menjadi penyembuh
rasa rinduku padamu, September, Oktober, November, bahkan hingga penghujung
Desember rasaku padamu masih tetap ada. Rasa ini akan sembuh dengan cara, bukan
dengan waktu, maka ku abadikan kau dalam tulisku bukan dalam hatiku. Menunggu
mu adalah pesakitan yang panjang.
Dari aku si perusak kata
Di atas ranjang kala mendung melingkupi semesta
Rabu, 30 Desember 2015