Diberdayakan oleh Blogger.
Free Hello Kitty ani Cursors at www.totallyfreecursors.com

Rabu, 30 Desember 2015

Rasa di Penghujung Desember



Teruntuk untuk mu yang hingga kini ada dalam pikiran dan mungkin juga hatiku.

Apa kabarmu? Aku harap baik-baik saja dan masih bersama suara khas milik mu, lalu gelak tawa mu yang keras, yang dulu pernah aku benci tapi sekarang aku rindukan. Aku ingin menyapamu untuk sekedar mengobrol singkat, tapi aku ragu apakah kau inginkan itu juga. Rasanya aku dan kau berada di dua tempat yang sangat jauh, mungkin aku di Bumi dan kau di Pluto, sehingga aku tak bisa tau tentangmu, bahkan sekedar mendeteksi radar Pluto pun aku tak mampu.
Jika alismu bertautan ketika membaca tulisan ini, aku tidak bermaksud mendramatisir agar kau iba atas aku, atau kau pikir aku mencari-cari perhatianmu, tentu tidak. Aku hanya…, terkadang ada rasa rindu yang terbesit dalam hatiku. Rasanya benar-benar ingin menyapamu tapi aku ragu, karena sekarang aku dan kau seolah tak pernah bertemu.
Tiap aku merindukanmu, otakku menayangkan kembali semua kejadian tentang kita. Masih terekam jelas semua kejadian itu. Kala kau datang bagaikan angin, tak terlihat asalnya dari mana namun mampu aku rasakan. Kau menarikku mendekatimu, kau tanya padaku apakah aku mengenalmu, tentu saat itu garis wajahku menunjukkan kebingungan dan takut melingkupi rasaku.
Aku masih ingat pertama kali menangis di hadapan mu. Jika mengingat masa itu aku merasa sangat bodoh, sepertinya aku mengukir kesan pertama yang buruk saat bertemu denganmu. Aku menangis tak henti-hentinya dan kau menatapku seolah bingung. Ahh… andai kau tahu aku merasa malu tiap mengingat kejadian itu. Ingatkah kau caramu meredakan tangisku? Mungkin kau lupa itu, tapi tak apa. Mataku menangkap seulas wajah heran dan senyum di sana, ada pada wajahmu. Aku, aku merasa bodoh sekali saat itu. Rasanya aku seperti anak kucing yang malang, yang ketakutan dengan manusia seperti mu. Aku masih ingat caraku menghindar dari mu karena takut, dan aku masih ingat caramu untuk mendekatiku agar aku tak takut.
 Lalu untuk cokelat yang kau beri saat itu, rasanya, rasanya aku ragu untuk memakan itu dari pelukan tanganmu, namun aku lakukan juga. Jika kau tanya rasanya saat itu tentu bagiku sama seperti cokelat biasa, namun sekarang rasa manis itu datang entah dari mana. Menurutmu apakah rasa itu terlambat? Mungkin iya.
 Semua terputar kembali dalam ingatanku, saat pertama kali aku mengatakan bahwa aku sayang padamu, dulu perkataan itu tentu tidak dari dalam hatiku melainkan paksaan dari mu, namun sekarang itu tulus benar-benar dari dalam hatiku. Aku benar-benar menyayangi mu sekarang. Tapi mungkin kau tidak begitu.
Dan ketika kau paksa aku menuliskan contact-ku di ponselmu, aku ragu dan takut namun ku lakukan juga. Sejujurnya aku tak pernah menyesal telah melakukan itu, karena sebab hal itu setidaknya kita pernah dekat walau sekarang rasanya tidak lagi. Kemudian senja menjadi saksi di mana kau tanya apakah dirimu tampan bagiku, namun aku menjawab tidak tahu, itu karena ragu, karena malu dan karena saat itu aku memang tidak tertarik pada mu, namun sekarang aku ingin katakan bahwa bagiku kau lah satu-satunya pria yang paling tampan di hatiku.
Kemudian magrib mengingatkan ku tentang bagaimana caramu mengulur waktu magribku agar kau bisa lama-lama mengobrol denganku, saat itu aku ingin mengobrol banyak denganmu tapi aku ragu, terlebih mengingat kala itu adzan magrib berkumandang. Maaf karena aku pergi meninggalkanmu, tapi sekarang rasanya aku ingin mengajakmu magrib bersama, kalau diperbolehkan akan ku jadikan kau imam dalam sholatku.
Dulu, dulu sekali, obrolan kita terasa menyenangkan, walau tak banyak yang mampu kita bahas bersama, namun kau selalu mencari-cari obrolan yang menuai tawa di antara kita. Aku benar-benar ingat segala obrolan itu, dan segala tawa mu yang bergema di dalam rongga dadaku. Aku masih bisa rasakan duduk di belakangmu, melihat pundakmu, menatap lehermu, merasakan angin yang bergesakan dengan kulit kita. Jantungku memompa darah begitu cepat kala itu. Aku merasa kikuk jika di dekatmu. Setiap ucapmu ku jawab dengan polosnya hingga lagi dan lagi gelak tawamu menggema di seantero rongga dadaku.
Aku rindu, rindu akan menatap mata mu malu-malu. Entah kau tahu atau tidak bahwa aku sering melempar pandanganku jauh dari mu ketika kau mulai menatap ke arahku. Maaf jika saat bersamamu aku sering menatap layar ponselku, sebenarnya itu karena aku malu, aku bingung harus berbuat apa, aku takut tampak aneh di hadapanmu, aku tak tahu ingin mengobrol tentang apa. Aku hanya berusaha terlihat senormal mungkin.
Malam itu membawa kita dalam tawa, tak pernah ada sedih kala aku bersamamu, walau mendung mewarnai malam kita. Bagiku tak masalah kalau pun saat itu hujan, aku tetap akan merasa senang jika itu bersamamu. Bagiku tak masalah walau dingin, aku tetap akan merasa hangat jika itu bersamamu. Bagiku tak masalah walau gelap malam, tapi itu bukan karena bersamamu, melainkan ada lampu-lampu jalan yang menemani kita. Tingkahmu tak pernah terbayang olehku, kau gila, tapi aku cinta! Kau sapa tiap orang di pinggiran jalan walau ku tahu kau tak mungkin mengenal mereka satu persatu.
Sekarang aku ingat wajahmu kala meniru wajah lelahku, wajah ngantukku, ahh kau lucu! Dan aku suka itu! Kau memang jarang memperhatikanku tapi kau selalu mengawasiku, kau larang ini, kau larang itu, dan aku percaya kau katakan sebab kau tak ingin terjadi sesuatu yang buruk padaku. Rasanya, ahh aku tersenyum kala memutar kembali kisah itu di kepalaku.
Aku masih mampu merasakan suaramu di telepon, memang tak merdu, apalagi ketika kau menyanyi untukku, suaramu tak merdu tapi aku suka itu. Aku selalu suka, walau kau buat aku menunggu, aku pun tetap masih suka. Ingkatkah kau kala aku mengajakmu untuk datang dalam acara penggalangan dana bakti sosial? Malam sebelum hari itu aku sulit pejamkan mataku, teringat akanmu, berangan apa yang akan terjadi esok pada kita berdua, namun kenyataan pahit harus ku telan sendiri. Aku menunggumu sedari munculnya sang mentari hingga berganti dengan bulan, kau tak kunjung datang bahkan hingga acara selesai. Hingga aku pulang. Hingga aku sadar bahwa anganku semu. Hingga aku lelah melihat layar ponselku untuk menunggu jawabanmu. Hingga aku, aku tak bisa berkata apapun lagi.
Entah, entah apa isi pikiranku. Rasanya tak mampu gunakan logika jika padamu. Apapun itu, anganku terlalu tinggi terhadapmu. Namun semua hanya angan semu, bahkan untuk pertemuan terakhir kau dan aku. Hujan menjadi akhir pertemuan kita. Hingga sekarang, kala hujan jatuh membasahi bumi, rasanya kenangan tentangmu kembali membasahi hatiku.
Ku habiskan segala waktu sembari mengenangmu, tertawa atau menangis rasanya aku selalu memikirkanmu, kau selalu bersemayam dalam hatiku, sehingga kapan pun itu aku akan terus berbicara dengan hatiku karena yang ku tahu di sana ada kau. Menatap malam, merasakan rintik hujan, tertawa, menangis, apapun itu aku tak mampu melupakanmu.
Aku tulis semua ini, semua yang berasal dari sudut pikiranku. Ku tulis agar tak lagi hidup dalam pikiranku. Biarlah semua terangkai dalam kata-kata yang ku jadikan tulisan untuk rasa di penghujung Desember. Aku tahu waktu tak akan menjadi penyembuh rasa rinduku padamu, September, Oktober, November, bahkan hingga penghujung Desember rasaku padamu masih tetap ada. Rasa ini akan sembuh dengan cara, bukan dengan waktu, maka ku abadikan kau dalam tulisku bukan dalam hatiku. Menunggu mu adalah pesakitan yang panjang.








Dari aku si perusak kata
Di atas ranjang kala mendung melingkupi semesta
Rabu, 30 Desember 2015

Read more...
separador

Kamis, 10 Desember 2015

Rumah dan Bintang

Hai, boleh ku sapa kamu Bintang? Jika tidak boleh maka akan tetap aku sapa begitu hanya untuk kali ini saja. Bintang, apa kabar hatimu? Milikku telah terkikis oleh rotasi bumi. Milikku telah ku benamkan dalam lautan. Milikku telah gagal bersemi.

Tahukah kamu, aku ingin jadi bayangan yang selalu mengikuti arah langkahmu. Aku ingin jadi hari minggu yang selalu kamu tunggu. Aku ingin menjadi mentari yang mampu menyinari setiap kamu dalam kegelapan. Aku ingin jadi materi yang selalu menjadi prioritas utamamu. Aku ingin menjadi embun yang mampu menyejukkan hatimu dikala emosi. Aku ingin jadi apapun itu asal untukmu namun aku tak mampu.

Aku hanyalah rumah. Rumah yang cuma memenjarakanmu di dalamnya. Rumah yang cuma akan membuatmu meras bosan. Rumah yang mengekang dirimu. Dan kamu mungkin tidak akan pernah ada di rumah. Sebab kamu bintang. Bintang yang bersinar terang di atas langit yang gelap, kamu bercahaya dan tinggi. Bintang yang hanya ada sesaat ketika malam kemudian menghilang seiring datangnya pagi. Aku mampu melihatmu tapi tak akan pernah bisa menggapaimu, apalagi untuk memilikimu seutuhnya. Aku terlalu naif atas itu.

Aku hanyalah rumah yang melihatmu dari sini, berpijak di bumi, denganmu yang menggantung tinggi di langit. Aku hanyalah rumah yang selalu berharap menjadi tempatmu kembali. Aku hanyalah rumah yang ingin jadi tempat ternyaman bagimu. Aku hanyalah rumah yang ingin jadi tempatmu berlindung dari kejamnya dunia. Aku hanyalah rumah yang ingin jadi tempatmu bercerita tentang segala yang telah kamu perbuat di luar sana. Aku hanyalah rumah yang ingin jadi tempatmu melepas lelah. Aku hanyalah rumah yang ingin jadi tempatmu beristirahat. Aku hanya ingin jadi rumah yang selalu kamu rindukan. Jika kamu butuh semua itu, pulanglah ke rumah. Rumah akan selalu ada dan terus menunggumu sepanjang musim yang silih berganti.

Pulanglah ke rumah jika kamu ingin, walau aku tahu bintang tak akan pernah menginjak bumi sehingga tak akan mungkin bisa ku miliki.


Dari aku, rumah yang selalu menatap bintang.
22:03 WIB, Malam Jumat, 10 Desember 2015
di atas ranjang tempatku tidur




Note : Halo! lama ngga ngepost ya hehehe... post-an ku kali ini mungkin sedikit lebay, alay, galau-galau kekinian apalah gitu~ ini analogi belepotan versiku hehehe... 
Pembaca yang baik pasti meninggalkan jejak komentar, terima kasih ^^

Read more...
separador