Hujan kembali menemaniku, hari ini. Bersama hujan
dan seorang lelaki yang bukan kau. Duduk diam di beranda rumahku. Menunggu
hujan reda. Menunggu matahari datang memberi cahaya.
Hei, kau tak perlu cemburu. Atau kau memang tak akan
cemburu? Ohh iya, tentu kau tidak akan cemburu. Memangnya aku siapamu? Aku tahu
jawabnya tanpa perlu kau beritahu. Aku bukan siapa-siapamu.
Hujan belum juga reda, aku masih bersamanya, lelaki
itu. Lelaki yang tidak akan pernah membuatmu jadi cemburu. Hanya rintik hujan
yang menemani duduk kami kala ini, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari
bibirku, begitu pula dengannya. Biarkan rintik hujan berbicara, bahwa aku
mencintaimu, bukan dia.
Sengaja aku dengarkan senangdung lagu dari radio,
untuk menambah rasa siang ini, siang yang mulai menjadi sore, masih bersama
hujan yang seolah menolak untuk berhenti, malah semakin menjadi-jadi. Sama
seperti hatiku, yang terus menerus menyukaimu. Memikirkanmu. Sedang apa kau di
sana?
Semilir angin memberikan rasa dingin, sedingin kami
berdua, yang diam tanpa kata. Aku bosan berbasa-basi, tadi aku sudah bicara,
tanpa melihat matanya. Bukan hanya karena dosa, namun juga karena aku memang
tak suka dia.
Dua orang anak lewat di depan rumahku, bermain dan
tertawa di bawah hujan. Tubuh mereka basah dan dingin namun darah masih
mengalir di sana, membuat jantung masih memompa, entah berdegup lebih kencang
atau tidak, aku sama sekali tidak tahu. Hanya si anak perempuan dan si anak
lelaki yang tahu hati mereka. Seperti aku mengetahui hatiku sendiri, namun kau tak
pernah tahu isi hatiku. Inginkah kau tahu? Jangan bilang siapapun termasuk
dirimu bahwa aku menyukaimu, sangat suka.
Lelaki yang duduk bersamaku di depan rumah membuka
suara, katanya anak-anak itu romantis. Aku tak merespon banyak, hanya tersenyum
simpul kemudian kembali diam. Aku tak mau memperpanjang cerita, terlebih
masalah romantis-romantisan. Aku diam menatap layar notebook ku, aku tak ingin
lama menatap matanya, nanti malah terjadi dosa. Toh berdua begini juga dosa.
Tapi aku bisa apa? Hujan belum juga reda.
Sejujurnya aku tak mau menambah dosa, terlebih lagi
karena ini bukan sesuatu yang aku suka. Berbeda jika dia adalah kau. Terjebak
hujan? Di beranda rumahku berdua? Ahh… kau tahu kembang api di tahun baru?
Kembang api yang mewarnai gelapnya langit. Gegap gempita bukan? tentu, semua
orang penuh semangat menyalakannya setelah begitu lama menanti, bersorak-sorai
melihat cahayanya, lalu penuh suka cita merayakannya hingga fajar menyingsing.
Begitulah rasanya jika aku berada di beranda berdua bersamamu.
Mungkin aku tak akan bisa diam, atau bisa jadi diam
karena kaku untuk bicara. Tapi aku yakin itu tak akan berlangsung lama. Kau
pasti tahu caranya membuat aku tertawa. Kau pasti tahu caranya menjadi berisik
melebihi suara hujan yang jatuh ke bumi. Kau pasti bisa buat aku jadi orang
yang paling bahagia di dunia. Kau tak akan diam saja bukan? kau tak akan
biarkan aku bosan menunggu hujan reda. Jika ini bersamamu, mungkin aku akan
meminta pada Tuhan agar memberhentikan waktu, atau ku pinta pada-Nya agar hujan
tak usah reda. Kenapa? Tentu karena aku ingin lebih lama lagi bersamamu. Aku
ingin, selalu ingin, sangat ingin.
Kemudian jika anak-anak itu lewat di bawah hujan,
kau bilang mereka romantis? Aku akan jawab kita harus lebih romantis dari
mereka. Kita harus kalahkan keromantisan mereka. Tak boleh ada yang lebih
romantis dari kita. Yang paling romantis tentu kita. Kau mau apa? Berlarian di
bawah hujan juga? Aku siap asal bersamamu, biar demam atau sinusitisku kambuh
tetap tak jadi masalah asal aku bersamamu.
Jika bersamamu aku tak akan diam tanpa kata, aku tak akan hanya menatap hujan. Aku akan menatap matamu jika boleh dan jika aku tak malu, tak apa sedikit dosa. Hehehe… aku akan lakukan banyak hal menyenangkan denganmu.kita tak akan kehabisan kata, kecuali ketika kita berdua tersipu malu. Ahh… andai kau yang ada di sini, tentu akan sangat menyenangkan hingga aku tak bisa membayangkannya.
Dari aku si perusak kata
Kala aku merindumu
Rabu, 10 Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar